MASALAH yang terjadi di generasi muda sekarang bukan sepenuh nya di salahkaaan pada generasi muda,tetapi di salah pada pemimpin Negara(pemerintah) yang tidak menyediakaan tempat untuk generasi muda untuk menaruh potensi nya.
di negara indonesia banyak generasi muda yang mempunyai bakat dan potensi untuk negara ini , namun generasi muda yang mempunyai potensi tidak dapat di Hargai di negri indonesia . sehingga banyak di negara kita sering menegalami gejolak di negara kita dan sebagai pelampiasaan tidak dapatnya orang-orang berpotensi mengkreasian potensi mereka menjadikaan mereka pemberontak
contoh nya ; 1. para pelajar yang melakukaan tauran
2. Mahasiswa melakukaan aksi (demo)
3.generasi muda yang memakai narkoba
4.Pergaulaan bebas
dari akibat-akibat yang terjadi pemerintah seharusnya sudah berfikir untuk memberi kesempataan ke pada Generasi muda untuk menjadi pemimpin.
Cari Blog Ini
Selasa, 24 Januari 2012
SUMBER HUKUM
hukum ada2 ;
1.hukum pidana ; adalah hukuman yang di berikan kepada seseoorang yang melakukaan pelanggaraan .
2.HUKUM PERDATA
Pada dasarnya kehidupan antara
seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan
atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang
diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai
contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja
seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal
terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan
hukum.
Ketentuan mengenai hukum perdata ini
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih
dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Hukum perdata merupakan hukum yang
meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang
mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri
atas :
pengertian hukum
Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku
tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mestinya
mengganti kerugian - jika melanggar aturan-aturan itu - akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya
Selasa, 17 Januari 2012
Rabu, 11 Januari 2012
Pengaruh Kampus Terhadap Perilaku Mahasiswa Dalam Pembentukan Budaya Akademik.
Posted by Indera Gunawan on 07:13
Mahasiswa
adalah sebutan bagi mereka yang mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi baik swasta maupun negeri. Karena telah lebih lama mendapatkan
pendidikan sejak pendidikan dasar, menengah dan sampai perguruan tinggi
maka banyak orang menilai mahasiswa sebagai kaum intelektual atau kaum
akademisi. Juga karena telah lebih dulu mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi atau universitas maka mahasiswa pasti diperlakukan
berbeda dari pada siswa.
Kampus berasal dari bahasa Latin, campus yang berarti "lapangan luas", "tegal". Dalam pengertian modern, kampus berarti sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan gedung-gedung universitas atau perguruan tinggi. Bisa pula berarti sebuah cabang daripada universitas sendiri. Misalkan Universitas Gunadarma di Jakarta, Indonesia memiliki 'kampus Margonda', 'kampus Kelapa Dua', ‘kampus Kali Malang’ dan kampus lainnya.
Perguruan
tinggi dipandangi sebagai institusi independen, hal itu yang menguatkan
pemahaman kita bahwa di dalamnya terisi oleh para intelektual bangsa
dan calon-calon pemimpin masa depan yang mempunyai spesifikasi ilmu
masing-masing, mahasiswa ekonomi, mahasiswa hukum, mahasiswa kimia,
teknik, sastra dan sebagainya. Tuntutan atau tanggung jawab ilmu
pengetahuan yang didapatkannya dari sebuah Perguruan tinggi membawa kita
ke pertarungan sesungguhnya yaitu realitas. Proses pembelajaran di
sekolah-sekolah maupun di universitas ditujukan untuk dapat menjawab
tuntutan yang ada di masyarakat pada umumnya yakni melalui transformasi
keilmuan dapat tercipta pemberdayaan masyarakat, partisipasi aktif dalam
proses pembangunan dan peningkatan taraf hidup berbangsa dan bernegara.
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa merupakan faktor
pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam menerapkan
perilaku terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis besar dapat
digolongkan menjadi peran sebagai kontrol sosial dan peran sebagai pembaharu
yang diharapkan mampu melakukan pembaharuan terhadap sistem yang ada. Salah
satu contoh yang paling fenomenal adalah peristiwa turunnya orde baru dimana
sebelumnya didahului oleh adanya aksi mahasiswa yang masif di seluruh Indonesia.
pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam menerapkan
perilaku terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis besar dapat
digolongkan menjadi peran sebagai kontrol sosial dan peran sebagai pembaharu
yang diharapkan mampu melakukan pembaharuan terhadap sistem yang ada. Salah
satu contoh yang paling fenomenal adalah peristiwa turunnya orde baru dimana
sebelumnya didahului oleh adanya aksi mahasiswa yang masif di seluruh Indonesia.
Perguruan
tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas
tersendiri di samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari
suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan
integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa
mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas
perguruan tinggi. Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah yang harus
dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik, yang
terdiri dari :
1. Kritis,
yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap
ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan
pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian.
2. Kreatif,
yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap
inovatif, berupaya untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat
bagi masyarakat.
3. Obyektif,
yang berarti kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar
berdasarkan pada suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang
atau ambisi pribadi.
4. Analitis,
yang berarti suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode
ilmiah yang merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran
ilmiah.
5. Konstruktif,
yang berarti suatu kegiatan ilmiah yang merupakan budaya akademik harus
benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas
kemanfaatan bagi masyarakat.
6. Dinamis, yang berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.
7. Dialogis,
artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat
akademik harus memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan
diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya.
8. Menerima
kritik, ciri ini sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu
setiap insan akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
9. Menghargai
prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus
menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
10. Bebas
dari prasangka, yang berarti budaya akademik harus mengembangkan
moralitas ilmiah yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran
ilmiah.
11. Menghargai
waktu, yang berarti masyarakat intelektual harus senantiasa
memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, terutama demi
kegiatan ilmiah dan prestasi.
12. Memiliki
dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, yang berarti masyarakat akademik
harus benar-benar memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok budaya
akademik.
13. Berorientasi
ke masa depan, artinya suatu masyarakat akademik harus mampu
mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke masa depan dengan suatu
perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
14. Kesejawatan/kemitraan,
artinya suatu masyarakat ilmiah harus memiliki rasa persaudaraan yang
kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama yang baik.
Oleh karena itu budaya akademik senantiasa memegang dan menghargai tradisi almamater sebagai suatu tanggung jawab moral masyarakat intelektual akademik.
Hervinny Wongso
MALAM itu, suasana di salah satu titik menuju Istana Merdeka, Jakarta, tampak syahdu. Sekitar 100 mahasiswa dan aktivis berkumpul menggelar renungan malam, ditemani nyala lilin yang disebar di pinggir jalan.
Malam 1.000 Lilin, Tribute to Sondang, yang digelar Senin (12/12) malam, merupakan kegiatan yang digagas presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dalam rangka mengenang mahasiswa Universitas Bung Karno, Sondang Hutagalung, yang melakukan aksi bakar diri di lokasi yang sama, 7 Desember lalu.
Apa yang dilakukan Sondang kembali mengingatkan kita kepada rangkaian aksi mahasiswa yang pernah terjadi di bangsa ini. Atas nama inspirasi, mahasiswa beraksi. Dari memberikan bunga, menyampaikan selebaran berisi pesan damai, hingga berunjuk rasa besar-besaran di depan institusi pendidikan atau pemerintah. Ada yang berhasil, ada pula yang berujung pada aksi anarkis semata.
“Kita demo karena merasakan adanya ketidakadilan,” cerita Agung Ardhi Putra, saat berbincang dengan Move pada kesempatan terpisah. Agung dan kawan-kawannya pun baru saja menggelar demo terkait dugaan korupsi yang dilakukan rektor kampusnya.
Keputusan mahasiswa untuk berunjuk rasa tidak muncul begitu saja. Beberapa tahap telah mereka adakan sekitar satu bulan sebelum turun ke jalan. Itu bermula dari penyelidikan dari tiap-tiap fakultas terhadap kegelisahan yang dihadapi, kemudian menggabungkan hasil tiap temuan, hingga tatap muka dengan pihak kampus.
“Turun (demonstrasi) ialah pilihan terakhir kalau tidak ada tindak lanjut dari langkah sebelumnya yang telah kita tempuh,” tutur mahasiswa psikologi angkatan 2010 ini. Agung menambahkan, perhatian pihak otoritas kampus kadang lebih mudah didapat lewat unjuk rasa sekitar 700 mahasiswa, daripada sekadar diskusi.
Tetap cerdas
Sebagai kaum pelajar tertinggi, tentu saja aksi yang dilakukan mahasiswa ini tidak dilakukan tanpa alasan yang jelas. Twedy Noviady Ginting, ketua presidium GMNI, menyebutkan demonstrasi mahasiswa sebagai bentuk gerakan moral. “Mahasiswa harus kritis karena kita berperan sebagai kontrol sosial kepada gerakan pemerintah terhadap masyarakat,” kata Twedy.
Oleh sebab itu, aspirasi itu harus disampaikan dengan cerdas agar mampu menjangkau target yang dituju. “Yang paling penting itu persatuan. Kalau merasa tidak didengar, kumpulkan lebih banyak massa, bukan berlaku anarkistis,” ungkap lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.
Twedy juga menyayangkan adanya demonstrasi yang diikuti kekerasan. Ia menyebutnya overlapping, atau keadaan yang terjadi akibat koordinator gerakan tidak berhasil mengontrol massanya dengan baik. “Kalau anarkistis, yang kita rusak toh fasilitasi yang dibeli dari uang rakyat juga,” ujarnya saat ditemui dalam malam Tribute to Sondang.
Pada kesempatan berbeda, aktivis Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Ariehta Eleison Sembiring, menjelaskan mahasiswa sebetulnya memiliki banyak jalan untuk membawa perubahan, tanpa harus melahirkan kericuhan di tengah-tengah masyarakat.
Ari mencontohkan betapa prestasi di tingkat olimpiade, kompetisi internasional, atau gerakan mengajar ke desa-desa yang sudah banyak dilakukan generasi muda telah menjadi sumbangsih yang lebih bermakna bagi bangsa kita. “Intelektual juga harus mengakar ke masyarakat, baru bisa tercipta perubahan,” terangnya.
Perilaku remaja
Menurut Pingkan Rumondor, motivasi mahasiswa dalam berdemo sebagai sikap yang wajar dimiliki remaja. “Fenomena ini terkait dengan konsep konformitas, atau sebuah proses ketika tingkah laku seseorang terpengaruh oleh orang lain dalam suatu kelompok, atau ikut-ikutan,” ucap dosen psikologi Universitas Bina Nusantara ini. Dengan kata lain, para remaja belum memiliki jati diri yang kuat sehingga mudah terpengaruh.
Terkait dengan hal tersebut, Pingkan mengajak para orangtua dan masyarakat memberikan lebih banyak kesempatan kepada remaja untuk menyampaikan pendapat. Lewat itu, remaja punya kesempatan untuk mengenal dirinya dengan lebih baik. “Jika sudah punya identitas diri yang jelas, ia akan lebih kritis dan tidak melakukan demonstrasi yang anarkistis,” tutur Pingkan.
Format Baru Gerakan Mahasiswa
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia bahkan di dunia, mahasiswa
memiliki peran yang strategis. Di Indonesia, mahasiswa memiiki andil
yang besar dalam proses kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebutlah Soekarno,
Hatta, Sjahrir, mereka meniti perjuangannya ketika menjadi mahasiswa.
Proses peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru juga dimotori oleh gerakan
mahasiswa. Dalam kekuasaan Orde Baru yang otoriter, sempat pula terjadi
peristiwa yang digerakkan oleh mahasiswa, seperti; Peristiwa Malari,
gerakan anti-TMII. Selanjutnya, reformasi 1998 juga dimotori oleh
gerakan mahasiswa. Jadi tidak salah jika banyak yang menyebut bahwa
mahasiswa adalah agent of change, agen perubahan dari sebuah bangsa.
Namun
sangat disayangkan, pasca reformasi, gerakan yang dilakukan oleh
mahasiswa cenderung stagnan. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh
mahasiswa juga tidak pernah membuahkan hasil yang berarti. Gerakan yang
didominasi oleh aksi jalanan, yang sekarang jika dilihat secara jumlah
cenderung menyusut. Yang menyedihkan lagi, aksi jalanan tersebut semakin
lama memiliki citra yang kurang baik di mata masyarakat. Aksi yang bisa
dipastikan menimbulkan kemacetan lalu lintas, berujung pada bentrok,
bahkan pengrusakan fasilitas umum, menambah citra buruk dari aksi
jalanan yang dilakukan mahasiswa. Mungkin juga ada kriminalisasi dari
aksi jalanan yang dilakukan mahasiswa, atau aksi jalanan yang ‘disusupi’
oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, yang jelas bahwa
gerakan mahasiswa hanya ‘sekedar hidup’, belum ada format baru yang
berarti.
Menjelang
penghujung tahun 2011, publik dikejutkan oleh dua peristiwa bersejarah
yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa. Yang pertama, lahirnya gerakan
mahasiswa yang secara terang-terangan menjadi tulang punggung partai
politik. Yang kedua, gerakan mahasiswa yang dilakukan secara individu
dengan menjadikan dirinya sebagai martir. Lahirnya Liga Mahasiswa NasDem
sebagai tulang punggung dari Partai NasDem, maupun aksi bakar diri
Sondang (mahasiswa UBK) di depan istana Negara. Format baru dari kedua
gerakan mahasiswa tersebut tentu saja tidak banyak yang menduga akan
terjadi. Gerakan mahasiswa yang akhirnya sebagai pemicu, baik pro-kontra
yang terus bergulir sampai saat ini. Namun dapat dipastikan ada
ketakutan kelompok tertentu dengan hadirnya dua format baru gerakan
mahasiswa tersebut.
Format
baru gerakan mahasiswa tersebut memiliki kekuatan tersendiri, kekuatan
yang lebih terorganisir dan lebih massif, baik karena adanya satu tujuan
bersama ataupun berdasarkan satu emosi yang dilandasi perasaan sesama
mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri, peristiwa revolusi yang terjadi di
luar negeri juga menjadi efek domino gerakan mahasiswa yang ada di
Indonesia. Pencarian format baru gerakan mahasiswa tentu saja dilandasi
oleh beberapa kenyataan yang terjadi selama ini. Kenyataan yang
sebenarnya bahwa gerakan mahasiswa tersebut menginginkan adanya suatu
perubahan yang terjadi di Indonesia, tentunya perubahan menuju hal yang
lebih baik.
Lahirnya gerakan mahasiswa yang jumlahnya lebih besar selalu hadir karena adanya common enemy
(musuh bersama). Sebagai contoh misalnya pada terbentuknya aliansi
taktis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang pada saat itu
menyerang pemerintahan Orde Lama dengan Tritura-nya, atau gerakan
mahasiswa 1998 yang menginginkan perubahan lengsernya penguasa rezim
Orde Baru. Organisasi mahasiswa yang tadinya terkotak-kotak bisa saja
menjadi satu kesatuan yang utuh dan memiliki kekuatan penuh dengan
adanya common enemy (musuh bersama).
Mahasiswa
walaupun disibukkan dengan kuliahnya, namun sehari-harinya secara
langsung merekam dan merasakan kinerja yang dilakukan pemerintah.
Mahasiswa merekam dan merasakan dari sistem pendidikan yang ada di
kampus, dari pemilik kost, dari penjual buku, dari penjual makanan, dari
warga sekitar kampus, intinya dari masyarakat yang bersentuhan langsung
dengan mahasiswa. Dari situlah gerakan mahasiswa timbul, dari situlah
mereka menemukan common enemy (musuh bersama).
Sudah
saatnya pemerintah mengakomodir gerakan mahasiswa, gerakan yang selama
ini banyak berperan dalam menentukan sejarah bangsa Indonesia. Jangan
sampai pemerintah lalai, terlebih lagi sampai pemerintah dianggap
sebagai common enemy (musuh bersama) oleh gerakan mahasiswa.
Kalau hal tersebut terjadi, bisa jadi karena pemerintah telah gagal
mengakomodir kepentingan gerakan mahasiswa. Tentu saja, cepat atau
lambat, mahasiswa akan menemukan sendiri format baru dari gerakan
mahasiswa untuk mencapai tujuan bersama, tujuan yang lebih baik
tentunya.
Langganan:
Postingan (Atom)