Cari Blog Ini

Rabu, 11 Januari 2012



Ada yang menyebut mereka agen perubahan, lokomotif gerakan, atau pengontrol sosial. Apa pun itu, tujuan mereka sama, bersuara untuk bangsa.

Hervinny Wongso
MALAM itu, suasana di salah satu titik menuju Istana Merdeka, Jakarta, tampak syahdu. Sekitar 100 mahasiswa dan aktivis berkumpul menggelar renungan malam, ditemani nyala lilin yang disebar di pinggir jalan.
Malam 1.000 Lilin, Tribute to Sondang, yang digelar Senin (12/12) malam, merupakan kegiatan yang digagas presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dalam rangka mengenang mahasiswa Universitas Bung Karno, Sondang Hutagalung, yang melakukan aksi bakar diri di lokasi yang sama, 7 Desember lalu.
Apa yang dilakukan Sondang kembali mengingatkan kita kepada rangkaian aksi mahasiswa yang pernah terjadi di bangsa ini. Atas nama inspirasi, mahasiswa beraksi. Dari memberikan bunga, menyampaikan selebaran berisi pesan damai, hingga berunjuk rasa besar-besaran di depan institusi pendidikan atau pemerintah. Ada yang berhasil, ada pula yang berujung pada aksi anarkis semata.
“Kita demo karena merasakan adanya ketidakadilan,” cerita Agung Ardhi Putra, saat berbincang dengan Move pada kesempatan terpisah. Agung dan kawan-kawannya pun baru saja menggelar demo terkait dugaan korupsi yang dilakukan rektor kampusnya.
Keputusan mahasiswa untuk berunjuk rasa tidak muncul begitu saja. Beberapa tahap telah mereka adakan sekitar satu bulan sebelum turun ke jalan. Itu bermula dari penyelidikan dari tiap-tiap fakultas terhadap kegelisahan yang dihadapi, kemudian menggabungkan hasil tiap temuan, hingga tatap muka dengan pihak kampus.
“Turun (demonstrasi) ialah pilihan terakhir kalau tidak ada tindak lanjut dari langkah sebelumnya yang telah kita tempuh,” tutur mahasiswa psikologi angkatan 2010 ini. Agung menambahkan, perhatian pihak otoritas kampus kadang lebih mudah didapat lewat unjuk rasa sekitar 700 mahasiswa, daripada sekadar diskusi.
Tetap cerdas


Sebagai kaum pelajar tertinggi, tentu saja aksi yang dilakukan mahasiswa ini tidak dilakukan tanpa alasan yang jelas. Twedy Noviady Ginting, ketua presidium GMNI, menyebutkan demonstrasi mahasiswa sebagai bentuk gerakan moral. “Mahasiswa harus kritis karena kita berperan sebagai kontrol sosial kepada gerakan pemerintah terhadap masyarakat,” kata Twedy.
Oleh sebab itu, aspirasi itu harus disampaikan dengan cerdas agar mampu menjangkau target yang dituju. “Yang paling penting itu persatuan. Kalau merasa tidak didengar, kumpulkan lebih banyak massa, bukan berlaku anarkistis,” ungkap lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.
Twedy juga menyayangkan adanya demonstrasi yang diikuti kekerasan. Ia menyebutnya overlapping, atau keadaan yang terjadi akibat koordinator gerakan tidak berhasil mengontrol massanya dengan baik. “Kalau anarkistis, yang kita rusak toh fasilitasi yang dibeli dari uang rakyat juga,” ujarnya saat ditemui dalam malam Tribute to Sondang.
Pada kesempatan berbeda, aktivis Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Ariehta Eleison Sembiring, menjelaskan mahasiswa sebetulnya memiliki banyak jalan untuk membawa perubahan, tanpa harus melahirkan kericuhan di tengah-tengah masyarakat.
Ari mencontohkan betapa prestasi di tingkat olimpiade, kompetisi internasional, atau gerakan mengajar ke desa-desa yang sudah banyak dilakukan generasi muda telah menjadi sumbangsih yang lebih bermakna bagi bangsa kita. “Intelektual juga harus mengakar ke masyarakat, baru bisa tercipta perubahan,” terangnya.
Perilaku remaja
Menurut Pingkan Rumondor, motivasi mahasiswa dalam berdemo sebagai sikap yang wajar dimiliki remaja. “Fenomena ini terkait dengan konsep konformitas, atau sebuah proses ketika tingkah laku seseorang terpengaruh oleh orang lain dalam suatu kelompok, atau ikut-ikutan,” ucap dosen psikologi Universitas Bina Nusantara ini. Dengan kata lain, para remaja belum memiliki jati diri yang kuat sehingga mudah terpengaruh.
Terkait dengan hal tersebut, Pingkan mengajak para orangtua dan masyarakat memberikan lebih banyak kesempatan kepada remaja untuk menyampaikan pendapat. Lewat itu, remaja punya kesempatan untuk mengenal dirinya dengan lebih baik. “Jika sudah punya identitas diri yang jelas, ia akan lebih kritis dan tidak melakukan demonstrasi yang anarkistis,” tutur Pingkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar